BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan
kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling
menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi
kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap
orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas
bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam
al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk
itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman
pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi
dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak
ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan
supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Dalam
ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis
cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi
terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut
interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
NASIKH DAN MANSUKH
A.
Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa dipergunakan untuk arti
izalah (menghilangkan). Misalnya: نَسَخَتِ الشَمْسُ الظلَّ artinya, matahari
menghilangkan bayang-bayang ; dan وَنَسَخَتِ الرِّيْحُ
أَثَرَ المَشْيِ artinya, angin
menghapuskan jejak perjalanan. Kata nasikh juga dipegunakan untuk makna
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.[1]
Sedangkan menurut istilah,
mengangkat (menghapuskan) hukum syara’
dengan dalil hukum (khitab) syara’ lainnya. Sedangkan mansukh adalah hukum yang
diangkat atau dihapuskan. [2]
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah
106:
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
“ ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa
antara ulama-ulama Mutaqaddim dan Muta’akhirin tidak sepakat
dalam memberikan pengertian Nash secara terminology (istilah). Hal itu terlihat
dari kontroversi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya Naskh
dalam Al-Quran. Ulama-ulama Mutaqaddimin bahkan memperluas arti Naskh hingga
mencankup:
1.
Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
2.
Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
3.
Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4. Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan
berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.
Dari definisi-definisi yang ada, para uahli
Ushul Fiqh menyatakan bahwa Naskh biasa dibenarkan bila memenuhi kriteria
berikut:
1.
Pembatalan
harus dilakukan melalui tuntutan Syara’ yang mengandung hukumdari Allah dan
Rasul-Nya disebut Naskh (yang menghapus).
2.
Yang dibatalkan adalah Syara’ yang disebut Mansukh
(yang dihapus).
3.
Nasikh
harus datang kemudian (terakhir) dari Mansukh. Dengan demikian istisna
(pengecualian ) tidak disebut Naskh.
Adapun Mansukh
secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11
Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
ÞOä3Ϲqã ª!$#
þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB
Åeáym
Èû÷üusVRW{$#
4
bÎ*sù
£`ä. [ä!$|¡ÎS
s-öqsù Èû÷ütGt^øO$#
£`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts?
(
bÎ)ur
ôMtR%x.
ZoyÏmºur
$ygn=sù
ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur
Èe@ä3Ï9
7Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts?
bÎ)
tb%x.
¼çms9
Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9
`ä3t
¼ã&©!
Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur
çn#uqt/r&
ÏmÏiBT|sù
ß]è=W9$#
4
bÎ*sù
tb%x.
ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ)
ÏmÏiBT|sù
â¨ß¡9$#
4
.`ÏB Ï÷èt/
7p§Ï¹ur ÓÅ»qã
!$pkÍ5 ÷rr&
Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur
w tbrâôs? öNßgr&
Ü>tø%r& ö/ä3s9
$YèøÿtR
4
ZpÒÌsù
ÆÏiB
«!$# 3 ¨bÎ)
©!$# tb%x. $¸JÎ=tã
$VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Artinya:
“ Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Al- Baqarah :
180
.” Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
Sedangkan
secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang
pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian.
C.Cara Mengetahui Naskh dan Mansukh
Cara mengetahui naskh dan mansukh dapat dilihat
dengan cara-cara sebagai berikut.
1.
Keterangan tegas dari nabi atau sahabat .
2.
Kesapakatan umat tentang menentukan bahwa ayat
ini naskh dan ayat itu mansukh.
3.
Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian
turunnya dalam perspektif sejarah.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor
yang sangat menentukan adanya
nasakh
dan mansukh dalam Al-qura’an. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat
dipahami bahwa naskh dan mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak
termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).[3]
D.Macam-macam Naskh dalam Al-quran
1.
Naskh tilawah dan hukum
Maksudnya,
hukum naskh ayatnya juga naskh, misalnya tentang kawin muth’ah. Rasulullah
membolehkan muth’ah dengan perintah Allah pada tahun penaklukan mekah kemudian
melarangnya dengan tegas pada masa perang khaibar, yaitu pada bulan shafar
tahun ke-7 Hijriah.
2.
Naskh hukum, tilawah tetap
Maksudnya , hukumnya naskh ayatnya masih ada.
Misalnya: naskh hukumnya ayat idah selama satu tahun sedangkan tilawahnya
tetap. Mengenai naskh semacam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya
para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Ayat-ayat seperti ini hanya
sedikit jumlahnya,
Dalam
hal ini mungkin akan timbul pertanyaan apakah hikmah penghapusan hukum
sedangkan tilawahnya tetap?
Jawabannya
ada dua segi:
1)
Quran , di samping dibaca untuk diketahui dan
di amalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah kalamullah yang
memebacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikma ini.
2)
Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka
ditetapkanlah tilawah untuk mengingatkanakan akan nikmat dihapuskannya
kesulitan.
3.Naskh
tilawah hukumnya tetap
Maksudnya,
ayat naskh hukumnya masih ada. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah
contoh.di antara ini ayat rajam yang artinya :
“Orang
tua laki-laki dan permpuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu
dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah mahaperkasa lagi maha bijaksana”.[4]
Dari
bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa nasikh dan mansukh terhadap hukum yang
ada didalam Al-quran adalah demi kemaslathan manusia, ini salah satu
kemukjijatan Al-quran .
E.Contoh-contoh nasikh
Contoh pertama :
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 ÇÊÊÎÈ
“ Dan kepunyaan Allah-lah
timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”( QS,
Al-baqarah :15)
Dinasikhkan
oleh surah Al-baqarah :144
4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ÇÊÍÍÈ
“. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(QS,
Al-baqarah : 144)
Ada yang mengatakan bahwa ini adalah benar yang
pertama tidak dinasikhkan , karena dalam sembahyang tathawu’ didalam perjalanan
di atas kendaraan. Demikian juga dalam keadaan takut dan dalam kegoncangan, Namun hukumnya
tetap selamanya. Seperti apa yang terdapat dalam shahihain. Dan kedua dalam
masalah sembahyang yang lima waktu. Dalam hadist sahihh dikatakan bahwa ayat
ini adalah nasikh terhadap apa yang telah ditetapkan dalam sunah yaitu
menghadap ke Baitul Mukaddis.[5]
Contoh kedua:
Firman Allah surat Al-Anfa’al 65:
bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 ÇÏÎÈ
“Jika ada dua puluh orang
yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh.”
Ayat ini menasikhkan surat Al-anfaal 66:
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur cr& öNä3Ïù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB ÇÏÏÈ
“ Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka
jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang”.[6]
.
Contoh takhsis :
Firman Allah surat Al-baqarah 217:
. y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ìök¤¶9$# ÏQ#tysø9$# 5A$tFÏ% ÏmÏù ( ö@è% ×A$tFÏ% ÏmÏù ×Î6x. ( ÇËÊÐÈ
217. mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar;
Firman Allah dalam surah At-taubah 36:
4 (#qè=ÏG»s%ur úüÅ2Îô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJ2 öNä3tRqè=ÏG»s)ã Zp©ù!$2 4 ÇÌÏÈ
“dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,”
Ada
orang yang mengatakan bahwa ayat mengandung semua hal-hal yang bersangkutan
dengan peran yang bukan pada bulan haram. Ayat ini tidak boleh dinasikhkan.[7]
.
.
E. Perbedaan Ulama mengenai Nasikh dan
Mansukh
Berbeda dengan mayoritas ulama yang
telah disebutkan di atas, sebagian ulama lain yang dipelopori oleh Abu Muslim
al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an
tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat
Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di
antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul
derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh
dalam al-Qur’an, dilihat dari sisi nasikh-mansukh,
surat-surat al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar. Pertama,
kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat
nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok
surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun
ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat
al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6
surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di
dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah
dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang
mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit
dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap
nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20
hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama,
tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat
yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat
saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180
dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2): 234,
al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan al-Mujadilah
(58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh
internal al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat
yang oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah.
Syaikh Muhammad al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak
kemungkinan ada nasikh-mansukh internal al-Qur’an telah mencoba mengompromikan
20-21 ayat yang oleh al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan
mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan
ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an
oleh ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan
atau penaqyidan.
Masing-masing
pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya,
baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau
periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial
oleh mereka ialah kedua ayat di bawah ini:
Artinya: “Apa
saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).
Artinya: “Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan
mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Para pendukung
nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam
kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang
nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang
terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung
nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan
sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat,
terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni
ayat 105.
Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka
Allah turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut
sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan
oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).
Menurut al-Wahidi perihal
kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli tafsir berpendapat
bahwasanya orang-orang musyrik pernah menyindir Nabi Muhammad seraya mereka
berkata dengan sesamanya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Muhammad yang
(pada suatu ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan sesuatu, tetapi
kemudian setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya dan memerintahkan
mereka dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang begini,
sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan bahwa
al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad yang ia
karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling bertentangan
antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah menurunkan kedua
ayat tersebut.
Berlainan
dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari kemungkinan adanya
nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada korelasi ayat, dalam
kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105 surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan
atau ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan
pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya orang-orang kafir itu tahu diri
bahwa penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya
penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak
prerogatif yang tidak perlu dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.
Penafsiran kata “ayatin” dalam al-Baqarah : 106 dan “ayatan” dalam
al-Nahl : 101 oleh pendukung nasikh-mansukh, menurut hemat penulis tidaklah
tepat dan cenderung dipaksakan. Bahkan lebih dari itu, Muhammad Abduh
menuduhnya sebagai periwayatan yang didustakan. Alasannya, sabab nuzul yang
dikutip al-Suyuti tidaklah kuat. Selain redaksinya tidak tegas karena
menggunakan kata-kata “ruwiya” (diriwayatkan) serta kata-kata “dalam suatu
riwayat”, juga terutama berlawanan dengan al-Qur’an surah al-Qiyamah: 16-18 dan
surat al-A’la: 6 yang pada intinya menjamin kekuatan ingatan atau hafalan Nabi
Muhammad terhadap al-Qur’an.
Sabab nuzul
yang dikutipkan al-Wahidi, juga kurang memiliki kehujjahan yang kuat. Selain
hanya mendasarkan pendirian kepada “asumsi” para mufassir (bukan sabab nuzul),
juga karena mengesankan atau dikesankan dua ayat di atas turun dalam waktu yang
berdekatan atau malahan bersamaan. Padahal, kedua ayat ini terdapat dalam dua
surat yang berbeda, yakni surat al-Baqarah yang tergolong ke dalam kelompok
surah-surah Madaniyah, sementara surat al-Nahl digolongkan ke dalam kelompok
surah-surah Makkiyah. Benar ilmu-ilmu al-Qur’an memberikan kemungkinan ada satu
atau beberapa ayat Makkiyah dalam surah Madaniyah atau sebaliknya; tetapi
khusus tentang kedua ayat di atas, tidak ada pendapat yang menegaskan bahwa
keduanya sama-sama tergolong ke dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah atau ayat-ayat
Madaniyah.
Masih dalam
kaitan ini, penafsiran kata ayatin atau ayatan dengan ayat al-Qur’an dalam
kedua ayat di atas, juga sama sekali tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Terutama dari sudut pandang Ilmu Munasabah dimana seperti telah dikemukakan di
atas hubungan ayat 106 dan ayat 105 surah al-Baqarah tampak dalam konteks
eksternal antara kenabian Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an di satu pihak,
dengan kenabian Musa dan Isa berikut kitabnya masing-masing di lain pihak. Lagi
pula kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua kata ayah dalam al-Qur’an selalu
digunakan dalam konteks ayat al-Qur’an, meskipun sebagian daripadanya memang
ada yang digunakan dalam pengertian ayat al-Qur’an.
Atas dasar ini
maka penafsiran kata ayah terutama yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 106,
tidaklah salah atau bahkan lebih tepat jika ditafsirkan dengan ayat Taurat atau
Injil yang kemudian digantikan dengan ayat al-Qur’an. Penafsiran didasarkan
pada pemahaman bahwa al-Qur’an itu meskipun secara rinci masing-masing surat dan
ayatnya memiliki keistimewaan-keistimewaan atau kelebihan-kelebihan tertentu,
namun secara umum dan keseluruhan, masing-masing surat atau ayat al-Qur’an
adalah memiliki kedudukan atau derajat yang sama.
Berbeda dengan kita memperbandingkan al-Qur’an
dengan kitab-kitab Allah yang lain terutama Taurat
dan Injil. Dibandingkan dengan Taurat dan Injil, al-Qur’an jelas lebih baik
dari keduanya atau minimal sederajat dengan keduanya. Semua itu dapat dipahami
dari konteks al-Qur’an ketika diposisikan sebagai pembenar atau korektor
terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Penafsiran ini jelas mudah
dimengerti dan mudah-mudahan tidak salah karena, seperti disebutkan di atas,
ayat ini justru turun dalam rangka membantah keberatan orang-orang kafir dari
ahlul kitab dan orang musyrikin yang kecewa dan sekuat tenaga menolak
kenabian Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an.
Dengan penafsiran seperti ini, mungkin akan
jauh lebih bernilai guna memahami ayat di atas, daripada harus memanfaatkan
ayat ini guna membenturkan sesama ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang
cenderung dipaksakan. Jika orang yang memahami kata ayatin di atas dengan ayat
Taurat atau ayat Injil semata-mata penafsiran, bukankah yang menafsirkan ayat
al-Qur’an juga sama-sama penafsiran, bukan teks ayat itu sendiri yang
menyatakan ayat al-Qur’an.[8]
F.Hikmah
Naskh
1. Memelihara kepentingan hamba.
2.Perkembangan tasyri’ menuju tingkat
sempurna sesuai dengan perkembagan dakwah dan perkrembangan kondisi ummat
manusia.
3.Cobaan bagi orang mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak.
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan
bagi umat.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu nasakh Mansukh adalah ilmu mengenai pembatalan
atau penghapusan, dan ilmu tentang hukum yang diangkatkan. Ilmu ini dijadikan
sebagai salah satu metode dalam menyelesaikan persoalan/permasalahan antara dua
dalil yang bertentangan, yang secara zhahir pada derajat yang sama.
Disyaratkan berbagai hukum kepada manusia bertujuan
untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat,
selain tuntunan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Abu.2002.Ulumul
Qur’an.Amzah.
As-Shalih Subhi.1990.Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an.Pustaka
firdaus.
Ernaerlina1.blogspot.com(2012/12) Nasikh.Mansukh.html.
Khalil
al-Qattan Manna’.2009.Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an.Bogor:Litera AntarNusa.
Quthan
Mana’ul.1995.Pembahasan Ilmu Al-qur’an.Rineka Cipta.
Shihab Quraish.1992.Membumikan Al-Qur’an.Mizan.
[1]
Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,Litera AntarNusa Bogor,2009.Hal
326
[2]
Ibid,hal 327
[3]
Abu Anwar,Ulumul Qur’an,Amzah ,2002.Hal 53
[4]
Manna’ Khalil al-Qattan, Opcit, hal 337
[5]
Mana’ul Quthan,Pembahasan Ilmu Al-qur’an,Rineka Cipta,1995.Hal 45
[6]
Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an,Litera AntarNusa
Bogor,2009.Hal:349
[7]
Mana’ul Quthan. Opcit.Hal 46
[8]
Ernaerlina1.blogspot.com(2012/12) Nasikh.Mansukh.html.
[9]
Manna’ Khalil al-Qattan. Opcit.Hal 339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar