Rabu, 19 Juni 2013

makalah naskh wa mansukh




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.

Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
NASIKH  DAN MANSUKH

A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya: نَسَخَتِ الشَمْسُ الظلَّ artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang ; dan وَنَسَخَتِ الرِّيْحُ أَثَرَ المَشْيِ artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata nasikh juga dipegunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain.[1]
            Sedangkan menurut istilah, mengangkat  (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ lainnya. Sedangkan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. [2]
            Firman Allah dalam QS Al-Baqarah 106:
 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ  
   ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulama-ulama Mutaqaddim dan Muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian Nash secara terminology (istilah). Hal itu terlihat dari kontroversi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya Naskh dalam Al-Quran. Ulama-ulama Mutaqaddimin bahkan memperluas arti Naskh hingga mencankup:

1.      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian;

2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;

3.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan

4.      Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.

Dari definisi-definisi yang ada, para uahli Ushul Fiqh menyatakan bahwa Naskh biasa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:

1.      Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan Syara’ yang mengandung hukumdari Allah dan Rasul-Nya disebut Naskh (yang menghapus).

2.       Yang dibatalkan adalah Syara’ yang disebut Mansukh (yang dihapus).

3.      Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari Mansukh. Dengan demikian istisna (pengecualian ) tidak disebut Naskh.

Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat

Al-Nisa : 11
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  


Artinya:

“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Al- Baqarah : 180

.” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
C.Cara Mengetahui Naskh dan Mansukh
Cara mengetahui naskh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.      Keterangan tegas dari nabi atau sahabat .
2.      Kesapakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini naskh dan ayat itu mansukh.
3.      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya
nasakh  dan mansukh dalam Al-qura’an. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa naskh dan mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).[3]





D.Macam-macam Naskh dalam Al-quran
1.      Naskh tilawah dan hukum
Maksudnya, hukum naskh ayatnya juga naskh, misalnya tentang kawin muth’ah. Rasulullah membolehkan muth’ah dengan perintah Allah pada tahun penaklukan mekah kemudian melarangnya dengan tegas pada masa perang khaibar, yaitu pada bulan shafar tahun ke-7 Hijriah.
2.      Naskh hukum, tilawah tetap
Maksudnya , hukumnya naskh ayatnya masih ada. Misalnya: naskh hukumnya ayat idah selama satu tahun sedangkan tilawahnya tetap. Mengenai naskh semacam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Ayat-ayat seperti ini hanya sedikit jumlahnya, 
      Dalam hal ini mungkin akan timbul pertanyaan apakah hikmah penghapusan hukum sedangkan tilawahnya tetap?
      Jawabannya ada dua segi:
1)      Quran , di samping dibaca untuk diketahui dan di amalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah kalamullah yang memebacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikma ini.
2)      Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingatkanakan akan nikmat dihapuskannya kesulitan.  
                          

            3.Naskh tilawah hukumnya tetap
Maksudnya, ayat naskh hukumnya masih ada. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh.di antara ini ayat rajam yang artinya :
“Orang tua laki-laki dan permpuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah mahaperkasa lagi maha bijaksana”.[4]

Dari bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa nasikh dan mansukh terhadap hukum yang ada didalam Al-quran adalah demi kemaslathan manusia, ini salah satu kemukjijatan Al-quran .

           
E.Contoh-contoh nasikh

Contoh pertama :
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 ž ÇÊÊÎÈ  
“ Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”( QS, Al-baqarah :15)

            Dinasikhkan oleh surah Al-baqarah :144


4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ÇÊÍÍÈ  
“. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(QS, Al-baqarah : 144)

Ada yang mengatakan bahwa ini adalah benar yang pertama tidak dinasikhkan , karena dalam sembahyang tathawu’ didalam perjalanan di atas kendaraan. Demikian juga dalam keadaan  takut dan dalam kegoncangan, Namun hukumnya tetap selamanya. Seperti apa yang terdapat dalam shahihain. Dan kedua dalam masalah sembahyang yang lima waktu. Dalam hadist sahihh dikatakan bahwa ayat ini adalah nasikh terhadap apa yang telah ditetapkan dalam sunah yaitu menghadap ke Baitul Mukaddis.[5]

Contoh kedua:
Firman Allah surat Al-Anfa’al 65:
 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 ÇÏÎÈ  
“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.”

Ayat ini menasikhkan surat Al-anfaal 66:
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur žcr& öNä3ŠÏù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB  ÇÏÏÈ  
“ Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang”.[6]

.

Contoh takhsis :
Firman Allah surat Al-baqarah 217:
. y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ̍ök¤9$# ÏQ#tysø9$# 5A$tFÏ% ÏmŠÏù ( ö@è% ×A$tFÏ% ÏmŠÏù ׎Î6x. ( ÇËÊÐÈ  
217. mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar;

Firman Allah dalam surah At-taubah 36:
4 (#qè=ÏG»s%ur šúüÅ2ÎŽô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJŸ2 öNä3tRqè=ÏG»s)ムZp©ù!$Ÿ2 4 ÇÌÏÈ  
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,”

            Ada orang yang mengatakan bahwa ayat mengandung semua hal-hal yang bersangkutan dengan peran yang bukan pada bulan haram. Ayat ini tidak boleh dinasikhkan.[7]
 .


.                 E.    Perbedaan Ulama mengenai Nasikh dan Mansukh

Berbeda dengan mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama lain yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh internal al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang oleh al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.
Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di bawah ini:
Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).

Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).
Menurut al-Wahidi perihal kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli tafsir berpendapat bahwasanya orang-orang musyrik pernah menyindir Nabi Muhammad seraya mereka berkata dengan sesamanya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Muhammad yang (pada suatu ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan sesuatu, tetapi kemudian setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya dan memerintahkan mereka dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang begini, sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan bahwa al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad yang ia karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling bertentangan antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah menurunkan kedua ayat tersebut.
Berlainan dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari kemungkinan adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada korelasi ayat, dalam kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105 surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan atau ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya orang-orang kafir itu tahu diri bahwa penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak prerogatif yang tidak perlu dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.
Penafsiran kata “ayatin” dalam al-Baqarah : 106 dan “ayatan” dalam al-Nahl : 101 oleh pendukung nasikh-mansukh, menurut hemat penulis tidaklah tepat dan cenderung dipaksakan. Bahkan lebih dari itu, Muhammad Abduh menuduhnya sebagai periwayatan yang didustakan. Alasannya, sabab nuzul yang dikutip al-Suyuti tidaklah kuat. Selain redaksinya tidak tegas karena menggunakan kata-kata “ruwiya” (diriwayatkan) serta kata-kata “dalam suatu riwayat”, juga terutama berlawanan dengan al-Qur’an surah al-Qiyamah: 16-18 dan surat al-A’la: 6 yang pada intinya menjamin kekuatan ingatan atau hafalan Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an.
Sabab nuzul yang dikutipkan al-Wahidi, juga kurang memiliki kehujjahan yang kuat. Selain hanya mendasarkan pendirian kepada “asumsi” para mufassir (bukan sabab nuzul), juga karena mengesankan atau dikesankan dua ayat di atas turun dalam waktu yang berdekatan atau malahan bersamaan. Padahal, kedua ayat ini terdapat dalam dua surat yang berbeda, yakni surat al-Baqarah yang tergolong ke dalam kelompok surah-surah Madaniyah, sementara surat al-Nahl digolongkan ke dalam kelompok surah-surah Makkiyah. Benar ilmu-ilmu al-Qur’an memberikan kemungkinan ada satu atau beberapa ayat Makkiyah dalam surah Madaniyah atau sebaliknya; tetapi khusus tentang kedua ayat di atas, tidak ada pendapat yang menegaskan bahwa keduanya sama-sama tergolong ke dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah atau ayat-ayat Madaniyah.
Masih dalam kaitan ini, penafsiran kata ayatin atau ayatan dengan ayat al-Qur’an dalam kedua ayat di atas, juga sama sekali tidak memiliki argumentasi yang kuat. Terutama dari sudut pandang Ilmu Munasabah dimana seperti telah dikemukakan di atas hubungan ayat 106 dan ayat 105 surah al-Baqarah tampak dalam konteks eksternal antara kenabian Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an di satu pihak, dengan kenabian Musa dan Isa berikut kitabnya masing-masing di lain pihak. Lagi pula kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua kata ayah dalam al-Qur’an selalu digunakan dalam konteks ayat al-Qur’an, meskipun sebagian daripadanya memang ada yang digunakan dalam pengertian ayat al-Qur’an.
Atas dasar ini maka penafsiran kata ayah terutama yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 106, tidaklah salah atau bahkan lebih tepat jika ditafsirkan dengan ayat Taurat atau Injil yang kemudian digantikan dengan ayat al-Qur’an. Penafsiran didasarkan pada pemahaman bahwa al-Qur’an itu meskipun secara rinci masing-masing surat dan ayatnya memiliki keistimewaan-keistimewaan atau kelebihan-kelebihan tertentu, namun secara umum dan keseluruhan, masing-masing surat atau ayat al-Qur’an adalah memiliki kedudukan atau derajat yang sama.
Berbeda dengan kita memperbandingkan al-Qur’an dengan kitab-kitab Allah yang lain terutama Taurat dan Injil. Dibandingkan dengan Taurat dan Injil, al-Qur’an jelas lebih baik dari keduanya atau minimal sederajat dengan keduanya. Semua itu dapat dipahami dari konteks al-Qur’an ketika diposisikan sebagai pembenar atau korektor terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Penafsiran ini jelas mudah dimengerti dan mudah-mudahan tidak salah karena, seperti disebutkan di atas, ayat ini justru turun dalam rangka membantah keberatan orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang musyrikin yang kecewa dan sekuat tenaga menolak kenabian Muhammad berikut kitab suci al-Qur’an.
Dengan penafsiran seperti ini, mungkin akan jauh lebih bernilai guna memahami ayat di atas, daripada harus memanfaatkan ayat ini guna membenturkan sesama ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang cenderung dipaksakan. Jika orang yang memahami kata ayatin di atas dengan ayat Taurat atau ayat Injil semata-mata penafsiran, bukankah yang menafsirkan ayat al-Qur’an juga sama-sama penafsiran, bukan teks ayat itu sendiri yang menyatakan ayat al-Qur’an.[8]

F.Hikmah Naskh
1. Memelihara kepentingan hamba.
2.Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembagan dakwah dan perkrembangan kondisi ummat manusia.
3.Cobaan bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.[9]


BAB III

PENUTUP

A.             Kesimpulan
Ilmu nasakh Mansukh adalah ilmu mengenai pembatalan atau penghapusan, dan ilmu tentang hukum yang diangkatkan. Ilmu ini dijadikan sebagai salah satu metode dalam menyelesaikan persoalan/permasalahan antara dua dalil yang bertentangan, yang secara zhahir pada derajat yang sama.
Disyaratkan berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntunan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

DAFTAR PUSTAKA      

Anwar,Abu.2002.Ulumul Qur’an.Amzah.
As-Shalih Subhi.1990.Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an.Pustaka firdaus.
Ernaerlina1.blogspot.com(2012/12) Nasikh.Mansukh.html.
Khalil al-Qattan Manna’.2009.Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an.Bogor:Litera AntarNusa.
Quthan Mana’ul.1995.Pembahasan Ilmu Al-qur’an.Rineka Cipta.
Shihab Quraish.1992.Membumikan Al-Qur’an.Mizan.



[1] Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,Litera AntarNusa Bogor,2009.Hal 326
[2] Ibid,hal 327
[3] Abu Anwar,Ulumul Qur’an,Amzah ,2002.Hal 53
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Opcit, hal 337
[5] Mana’ul Quthan,Pembahasan Ilmu Al-qur’an,Rineka Cipta,1995.Hal 45
[6] Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an,Litera AntarNusa Bogor,2009.Hal:349
[7] Mana’ul Quthan. Opcit.Hal 46
[8] Ernaerlina1.blogspot.com(2012/12) Nasikh.Mansukh.html.
[9] Manna’ Khalil al-Qattan. Opcit.Hal 339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar